Upnormal Leadership

Imam Wijoyo – Chairman Indonesia Winning Institute

“Stop Thinking, Imam, start to Listen!” masih tergiang ditelinga saya, ketika seorang mentor menyampaikan agar saya stop untuk berpikir, melainkan untuk mendengar

Iya, memimpin sebuah institusi dengan beragam tekanan dan tanggung jawabnya membuat saya terus berpikir dan berpikir, untuk menganalisa, mempertimbangkan berbagai macam sudut pandang, meluaskan pandangan, memikirkan berbagai macam kemungkinan, dan lain-lain.

Hal itu membuat kita sibuk berpikir dan menganalisa, hingga lupa untuk mendengarkan. Lho, bagaimana mungkin, kan aku juga mempertimbangkan dari berbagai masukan dan pendapat dari tim, rekan, dan partner?

Satu yang sempat dilupakan, dan ini sangat penting sekali, yaitu mendengarkanNYA!

Dan ketika saya ngobrol santai dengan pemimpin-pemimpin lain mengenai hal yang perlu saya ubah ini, ternyata kebiasaan yang sama juga dilakukan oleh rekan-rekan sesama pemimpin, yaitu terus berpikir keras untuk menciptakan langkah inovatif, langkah strategis, serta langkah yang taktis untuk perusahaannya

Jika Anda juga demikian, selamat ya, berarti Anda dan saya tidak sendirian.

Seringkali kita terbatasi oleh panca-indera kita, yaitu berbicara dan berdiskusi dengan orang2 yang ada disekitar kita, termasuk mendengarkan mereka, serta menganalisa data2 yang telah masuk, untuk kita mempertimbangkan langkah strategis berikutnya, dan ini semua tidaklah salah

Belum lagi tenggat waktu yang menghimpit diri kita untuk menyelesaikan banyak hal, membuat banyak keputusan penting dalam waktu yang relatif cepat dan pendek.

Hal ini sebenarnya normal dilakukan oleh pemimpin. Anda dan saya normal. Namun banyak waktu kita diajak untuk tidak normal, tapi bukan abnormal, melainkan upnormal, atau diatasnya normal

Hahh?! Ngomong apa sih ini?! Iya kita sedang ngobrol tentang kepemimpinan. Kepemimpinan yang upnormal.

Sebuah buku berjudul Memperkuat Jiwa Kepemimpinan Anda, membahas tentang pengalaman kepemimpinan Musa dan bagaimana Musa dilatih untuk mendengarkan DIA, menunggu kehadiranNYA, dan menemukan tuntunanNYA

Buku tersebut menceritakan banyak kisah Musa, mulai dari keluarnya Musa dari Mesir; dipanggilnya Musa untuk membebaskan bangsa Israel dari Mesir; hingga perjalanan dan pergumulannya ketika memimpin bangsa Israel pasca keluar dari Mesir

Sumber gambar: Google

Banyak kisah-kisah tentang bagaimana Musa menunggu dan mendengarkan DIA. Mulai peristiwa dahsyat membelah laut merah, dipanggilnya Musa untuk bertemu dengan Tuhan diatas gunung, dan banyak lagi.

Beberapa ahli mengatakan bahwa ini merupakan contoh dari pentingnya solitude, hening, didalam kesendirian untuk mempersiapkan hati, pikiran, dan telinga yang mendengar suaraNYA, ditengah-2 kebisingan dunia dengan segala permasalahan yang antri untuk diselesaikan.

Seorang rekan mengatakan, listen to the voice, not the noice! Tentunya suara yang dimaksud disini bukanlah suara bisikan yang secara audible dapat didengarkan oleh telinga kita, melainkan melalui firman yang kita baca dan renungkan, kita menemukan suaraNYA, kehendakNYA dan tuntunanNYA.

Sumber gambar: Google

Iya, didalam solitude, kita terus merenungkan firman, berdoa, menyampaikan isi hati kita, serta mendengarkan dan menemukan apa yang menjadi kehendakNYA. Dan, iman iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus

Ah! Aku sebenarnya tahu pentingnya hal ini, tapi aku tidak akan sempat melakukan ini! Waktu terlalu sibuk, kita hanya memiliki 24 jam, dan sepertinya perlu tambahan waktu lebih dari 24 jam, agar waktu kita cukup untuk mengerjakan semua urusan kita. Saya juga pernah berpikir demikian.

Namun ternyata, waktu untuk solitude, diam, berdoa, hening, tenang, dan merenungkan firmanNYA sungguh sangat diperlukan bagi para pemimpin, sehingga pemimpin dapat tetap berada ditengah (centered) dalam membuat keputusan2 penting bagi hidupnya, bisnisnya, atau institusinya

Jadi, kapan Anda terakhir melakukan solitude atau hening, dan diam dalam hadiratNYA? Jika tulisan ini mengingatkan Anda untuk melakukannya, yuk, segera Anda lakukan setelah membaca artikel ini.

Seorang sahabat sesama pemimpin menyampaikan bagaimana dirinya seolah mendapat kekuatan tersendiri setelah melakukan perenungan dan hening didalam hadiratNYA. Dan saya setuju sekali. Entah bagaimana, ketenangan batin, objektifitas pikiran, serta pikiran yang lebih jernih, seolah menyertai kita setelahnya.

Hal ini begitu vital bagi para pemimpin, yaitu memiliki judgment tanpa kehilangan values, objektifitas ditengah2 ambiguitas, dan kejernihan berpikir ditengah2 ketidak-pastian

Sumber gambar: Google

Jadi, mari kita ambil waktu menyendiri untuk membaca firmanNYA, merenungkannya dan mendoakannya, tanpa agenda tertentu yang ada dibenak kita.

Kita bisa mengambil nafas Panjang dan menghembuskannya, jika hal itu membantu, serta menyanyikan lagu-2 rohani yang dapat menghantarkan pikiran dan perasaan kita untuk fokus kepadaNYA

Kebiasaan solutide, kontemplasi, dan mendengarkan serta merenungkan firmanNYA seringkali memberikan kita moment yang berharga dalam recharging spiritualitas kita, dan kita dapat kembali melihat ajaran2NYA dengan mengandalkanNYA

Dalam dunia kepemimpinan dunia, seorang pemimpin memiliki tuntutan demi tuntutan, selain juga priviledge. Dan ketika kita terus mengandalkan kemampuan diri kita, kecerdasan kita, pengalaman kita, suatu ketika, jiwa akan terasa kelelahan. Atau ada yang mengatakan capek hati, dan capek mental.

Oleh karena itu, kebiasaan untuk solitude, dan mendengarkan suaraNYA, melalui firmanNYA, sangat memberdayakan kita. Disaat solitude kita jadi belajar, bagaimana mengendalikan pikiran kita yang sangat sibuk itu, serta perasaan kita yang tak menentu, lalu berfokus kepadaNYA didalam hadiratNYA.

Dalam solitude, seorang pemimpin dilatih untuk melambatkan hatinya yang terus bergejolak, oleh karena tuntutan kecepatan dunia; men-fokus-kan telinga untuk mendengarkan suara yang lembut ditengah2 kebisingan dunia; serta dilatih untuk masuk lebih dalam di hadiratNYA, bukan hanya permukaan demi rutinitas belaka.

Ditengah-tengah dunia, pemimpin dituntut untuk menjadi yang hebat, kuat, tanpa cacat cela, terhormat, berkarisma, dan seterusnya dan seterusnya, dan masih akan sangat Panjang sekali list-nya

Oleh sebab itu, kepemimpinan yang upnormal, sadar dirinya lemah, tahu dirinya kecil, mengerti dirinya tidak berdaya, dan perlu untuk belajar mengandalkanNYA, sehingga didalam kelemahan, kita menjadi kuat oleh karena kekuatanNYA, disaat tak berdaya, kita menjadi berdaya oleh karena penyertaanNYA, dan kita tetap konsisten oleh karena pendampinganNYA.

Ditengah-tengah dunia yang normal, penuh dengan ketidakpastian, ketidakjelasan, dan ambiguitas tinggi, biarlah kita berlatih didalam solitude untuk menjadi pemimpin upnormal, yang mengalami pemenuhan batin, oleh karena pengertian bahwa diri kita perlu terus bergantung dengan tangan pemeliharaanNYA.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments